15 Jurnal (Kelompok Thumbnail Loworng Waktu si AA)

15 Jurnal (Kelompok Thumbnail Loworng Waktu si AA)


11. Hidayat, N. (2020). Pesan Illuminati dalam Lagu “Fake Love” Karya Bangtan Boys (BTS) Menggunakan Analisis Semiotik Ferdinand De Saussure (Doctoral dissertation, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta).


Dalam sebuah lagu tentunya terdapat lirik yang memiliki makna tertentu yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada setiap para pendengarnya. Lagu itu sendiri terdiri dari banyak kata yang disusun oleh pengarangnya dan dibawakannya dengan sebuah nada sehingga dapat dinikmati dan menghibur setiap pendengarnya. Bahasa dalam lirik sebuah lagu diseleksi sedemikian rupa sehingga menjadi bait yang indah sehingga mampu memberikan ketepatan makna, nuansa, nada, serta daya estetika. Hal-hal inilah yang membuat sebuah lirik lagu juga kaya akan gaya bahasanya (Wibowo, 2013: 18). 

Didalam semiotika komunikasi ada berbagai macam media yang bisa digunakan. Salah satunya adalah musik. Musik bisa diartikan sebagai penyampai pesan lewat bunyi, yang unsur dasarnya melibatkan melodi, irama, harmoni, yang didukung unsur penyokong berbentuk gagasan, sifat, dan warna bunyi (Soeharto, 1992:86). Musik itu sendiri juga merupakan salah satu warna dari hidup setiap individu. Setiap manusia pasti pernah mendengarkan yang namanya musik.

Masyarakat Indonesia saat ini tidak dapat dijauhkan dari lagu. Seperti yang dilansir pada media online CNN bahwa Direktur Pengelola Spotify bagian Asia, yaitu Sunita Kaur mengakatan bahwa dibandingkan negara lain di dunia, pendengar lagu di Indonesia termasuk yang paling aktif mendengarkan musik (Anggraini, 2017) . Oleh karena itu hampir seluruh masyarakat Indonesia, disetiap sela-sela kegiatan yang mereka lakukan selalu ditemani lagu-lagu. Bahkan di waktu sibuk pun mereka menyempatkan diri untuk “bersentuhan” dengan lagu, salah satunya adalah mendengarkan melalui platform digital. Mereka melakukan itu bukan semata untuk menemari rasa jenuh, melainkan sebagai teman penyemangat untuk menjalani hari.

Oleh karena itu lagu merupakan media yang sering dijadikan sebagai sarana untuk menyampaikan pesan. Saat membuat karyanya, setiap penulis lagu menjadikan musiknya sebagai media untuk menyampaikan sebuah pesan yang melibatkan perasaan emosional para pendengarnya baik melalui instrumen, irama, dan lirik yang terkandung didalam sebuah lagu. Pesan yang disampaikan oleh penulis lagu atau penyanyi tersebut bisa terdapat pada lirik lagu yang dibawakan, namun tidak semua pesan disampaikan secara jelas kedalam lirik lagu. Tidak sedikit dari pesan yang terkandung dari lirik lagu yang diputar secara terbalik atau disebut dengan teknik bernama Backmasking untuk mengetahui pesan yang tersirat didalam sebuah lagu, Backmasking merupakan sebuah video atau musik yang direkam secara terbalik sehingga pesan aslinya disamarkan ketika video atau musik tersebut dimainkan secara normal (Utami, 2017: 8).

Illuminati merupakan salah satu isu yang sering menjadi propaganda tak kesat mata dalam sebuah film maupun sebuah lagu. Iluminati sendiri, sebenarnya sudah ada disekitar kita sejak lama. Tak jarang dalam teori-teori konspirasi berdatangan dengan mengatakan bahwa Illuminati adalah salah satu Organisasi masyarakat rahasia yang bergerak disemua aspek kehidupan manusia, yakni dalam industri musik, film, ekonomi, media massa dan yag lainnya. Organisasi ini mengendalikan segala aspek kehidupan manusia. Mengontrol dan mempropaganda adalah salah satu tujuan berdirinya organisasi ini (Humairoh, 2017: 2). Propaganda simbol-simbol Illuminati sering kali dijumpai dalam film maupun di dalam sebuah lagu yang menggunakan teknik backmasking. Karena lagu dan film merupakan dunia yang tak terbatas, dalam artian, apapun bisa tersirat didalam sebuah lagu dan film, maka propaganda sering disisipkan dalam lagu dan bentuknya samar dengan menggunakan teknik backmasking tersebut.

Lagu Fake Love termasuk musik video yang cukup banyak ditonton, dengan jumlah penonton sebanyak 643 juta penonton. Selain itu lagu Fake Love mendapatkan tiga penghargaan dalam ajang musik diantaranya; 1) Mnet Asian Music Award untuk Global Fan’s Choice (Mnet Asian Music Award for Global Fan's Choice) 2018; 2) Golden Disk Award Song Division 2019; 3) MYX Music Award untuk Video Internasional Favorit 2019. 

Lirik lagu juga merupakan salah satu media komunikasi, selanjutnya untuk mengkaji lirik tersebut digunakan kajian semiotika menurut Ferdinand De Saussure (Fajriati, 2019:6-7). Dalam penelitian ini peneliti memilih model analisis semiotik Ferdinand De Saussure, karena Ferdinand De Saussure menganggap tautan antara penanda dan petanda, X = Y, bersifat mana suka, dan terbangun setelah beberapa lama untuk suatu tujuan sosial tertentu. Untuk menegaskan pernyataannya, ia mencatat bahwa tidak ada alasan jelas untuk menggunakan, misalnya, tree (pohon) atau arbre (bahasa Perancis) untuk menunjukkan “sebuah tumbuhan tinggi berdaun dan bercabang”. Malah, penanda manapun yang terbentuk dengan baik dapat digunakan dalam kedua bahasa ini – tree adalah penanda kata yang terbentuk dengan benar dalam bahasa Inggris. Namun, Saussure mengakui bahwa ada beberapa tanda yang direka sedemikian rupa sehingga penandanya meniru sifat inderawi atau sesuatu yang dapat dipersepsikan dari petanda (Fajriati, 2017: 24). Dibandingkan dengan analisis semiotika Roland Barthes, Ferdinand de Saussure lebih cocok untuk menganalisis sebuah teks.


Sumber : https://etd.umy.ac.id/id/eprint/1368/



12. Sartini, N. W. (2007). Tinjauan teoritik tentang semiotik. Masyarakat, Kebudayaan Dan Politik, 20(1), 1-10.Sartini, N. W. (2007). Tinjauan teoritik tentang semiotik. Masyarakat, Kebudayaan Dan Politik, 20(1), 1-10.


Sebagai makhluk yang hidup di dalam masyarakat dan selalu melakukan interaksi dengan masyarakat lainnya tentu membutuhkan suatu alat komunikasi agar bisa saling memahami tentang suatu hal. Apa yang perlu dipahami? Banyak hal salah satunya adalah tanda. Supaya tanda itu bisa dipahami secara benar dan sama membutuhkan konsep yang sama supaya tidak terjadi misunderstanding atau salah pengertian. Namun pada kenyataannya tanda itu tidak selamanya bisa dipahami secara benar dan sama di antara masyarakat. Setiap orang memiliki interpretasi makna tersendiri dan tentu saja dengan berbagai alasan yang melatar -belakangi-nya. Ilmu yang membahas tentang tanda disebut semiotik ( the study of signs). Masyarakat selalu bertanya apa yang dimaksud dengan tanda? Banyak tanda dalam kehidupan sehari -hari kita seperti tanda-tanda lalu lintas, tanda-tanda adanya suatu peristiwa atau tanda -tanda lainnya. Semiotik meliputi studi seluruh tanda -tanda tersebut sehingga masyarakat berasumsi bahwa semiotik hanya meliputi tanda -tanda visual (visual sign). Di samping itu sebenarnya masih banyak hal lain yang dapat kita jelaskan seperti tanda yang dapat berupa gambaran, lukisan dan foto sehingga tanda juga termasuk dalam seni dan fotografi. Atau tanda juga bisa mengacu pada kata-kata, bunyi-bunyi dan bahasa tubuh (body language). Untuk memahami semiotik lebih jauh ada baiknya kita membahas beberapa tokoh semiotik dan pemikiran -pemikirannya dalam semiotik.

Kalau kita telusuri dalam buku-buku semiotik yang ada,hampir sebagian besar menyebutkan bahwa ilmu semiotik bermula dari ilmu linguistik dengan tokohnya Ferdinand de de Saussure (1857 - 1913). de Saussure tidak hanya dikenal sebagai Bapak Linguistik tetapi juga banyak dirujuk sebagai tokoh semiotik dalam bukunya Course in General Linguistics (1916). Selain itu ada tokoh yang penting dalam semiotik adalah Charles Sanders Peirce (1839 - 1914) seorang filsuf Amerika, Charles Williams Morris (1901 - 1979) yang mengembangkan behaviourist semiotics. Kemudian yang mengembang-kan teori-teori semiotik modern adalah Roland Barthes (1915 - 1980), Algirdas Greimas (1917 - 1992), Yuri Lotman (1922 - 1993), Christian Metz (193 - 1993), Umberco Eco (1932),dan Julia Kristeva (1941). Linguis selain de Saussure yang bekerja dengan semiotics framework adalah Louis Hjlemslev (1899 - 1966) dan Roman Jakobson (1896 - 1982). Dalam ilmu antropologi ada Claude Levi Strauss (1980) dan Jacues Lacan (1901 - 1981) dalam psikoanalisis. Strukturalisme adalah sebuah metode yang telah diacu oleh banyak ahli semiotik, hal itu didasarkan pada model linguistik struktural de Saussure. Strukturalis mencoba mendeskripsikan.

sistem tanda sebagai bahasa-bahasa, Strauss dengan mith, kinship dan totemisme, Lacan dengan unconcious, Barthes dan Greimas dengan grammar of narrative. Mereka bekerja mencari struktur dalam (deep structure) dari bentuk struktur luar (surface structure) sebuah fenomena. Semiotik sosial kontemporer telah bergerak di luar perhatian struktural yaitu menganalisis hubungan - hubungan internal bagian-bagian dengan a self contained system, dan mencoba mengembangkan penggunaan tanda dalam situasi sosial yang spesifik.

Makna Kata ‘Tanda’ Bagi de Saussure, bahasa terdiri atas sejumlah tanda yang terdapat dalam suatu jaringan sistem dan dapat disusun dalam sejumlah struktur. Setiap tanda dalam jaringan itu memiliki dua sisi yang tak terpisahkan seperti dua halaman pada selembar kertas. de Saussure memberikan contoh kata arbor dalam bahasa Latin yang maknanya ‘pohon’. Kata ini adalah tanda yang terdiri atas dua segi yakni /arbor/ dan konsep pohon. Signifiant /arbor/ disebutnya sebagai citra akustik yang mempunyai relasi dengan konsep pohon (bukan pohon tertentu) yakni signifie. Tidak ada hubungan langsung dan alamiah antara penanda (signifier) dan petanda (signified). Hubungan ini disebut hubungan yang arbitrer. Hal yang mengabsahkan hubung -an itu adalah mufakat (konvensi) …’a body of necessary conventions adopted by society to enable members of society to use their language faculty (de Saussure, 1986:10). 

Oleh sebab itu bahasa sebagai sebuah sistem dapat dikatakan lahir dari kemu -fakatan (konvensi) di atas dasar yang tak beralasan (unreasonable) atau sewenang-wenang. Sebagai contoh, kata bunga yang keluar dari mulut seorang penutur bahasa Indonesia berkorespondensi dengan konsep tentang bunga dalam benak orang tersebut tidak menunjukkan adanya batas-batas (boundaries) yang jelas atau nyata antara penanda dan petanda, melainkan secara gamblang mendemonstrasikan kesewenang-wenangan itu karena bagi seorang penutur bahasa Inggris bunyi bunga itu tidak berarti apa-apa.

Petanda selalu akan lepas dari jang-kauan dan konsekuensinya, makna pun tidak pernah dapat sepenuhnya ditangkap, karena ia berserakan seperti jigsaw puzzles disepanjang rantai penanda lain yang pernah hadir sebelumnya dan akan hadir sesudahnya, baik dalam tataran para -digmatik maupun sintagmatik. Ini dimung-kinkan karena operasi sebuah sistem bahasa menurut de Saussure dilandasi oleh prinsip negative difference, yakni bahwa makna sebuah tanda tidak diperoleh melalui jawaban atas pertanyaan what is it, melainkan melalui penemuan akan what is not (Budiman, 2002:30).

Dengan demikian ilmu yang mempelajari tentang tanda-tanda adalah semiotik. Semiotics is concerned with everything that can be taken as a sign. Semiotics adalah studi yang tidak hanya merujuk pada tanda (signs) dalam percakapan sehari-hari, tetapi juga segala sesuatu yang merujuk pada bentuk-bentuk lain seperti words, images, sounds, gesture , dan objects. Sementara de Saussure menyebut ilmu ini dengan semiologi yakni sebuah studi tentang aturan tanda-tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial ( a science which studies the role of signs as a part of social life). Bagi Peirce (1931), semiotics was formal doctrine of signs which was closely related to logic. Tanda menurut Peirce adalah something which stands to somebody for something in some respect or capacity. Kemudian ia juga mengatakan bahwa every thought is a sign

van Zoest (1993) memberikan lima ciri dari tanda. Pertama, tanda harus dapat diamati agar dapat berfungsi sebagai tanda. Sebagai contoh van Zoest menggambarkan bahwa di pantai ada orang-orang duduk dalam kubangan pasir, di sekitar kubangan di buat semacam dinding pengaman (lekuk) dari pasir dan pada dinding itu diletakkan kerang -kerang yang sedemikian rupa sehingga membentuk kata ‘Duisburg’ maka kita mengambil kesimpulan bahwa di sana duduk orang-orang Jerman dari Duisburg. Kita bisa sampai pada kesimpulan itu, karena kita tahu bahwa kata tersebut menandakan sebuah kota di Republik Bond. Kita menganggap dan menginterpretasikannya sebagai tanda.

Kedua, tanda harus ‘bisa ditangkap’ merupakan syarat mutlak. Kata Duisburg dapat ditangkap, tidak penting apakah tanda itu diwujudkan dengan pasir, kerang atau ditulis di bendera kecil atau kita dengar dari orang lain.

Ketiga, merujuk pada sesuatu yang lain, sesuatu yang tidak hadir. Dalam hal ini Duisburg merujuk kesatu kota di Jerman. Kata Duisburg merupakan tanda karena ia ‘merujuk pada’, ‘menggantikan’, ‘mewakili‘ dan ‘menyajikan’.

Keempat, tanda memiliki sifat representatif dan sifat ini mempunyai hubungan langsung dengan sifat inter-pretatif, karena pada kata Duisburg di kubangan itu bukannya hanya terlihat adanya pengacauan pada suatu kota di Jerman, tetapi juga penafsiran ‘di sana duduk -duduk orang Jerman’.

Kelima, sesuatu hanya dapat merupa -kan tanda atas dasar satu dan lain. Peirce menyebutnya dengan ground (dasar, latar) dari tanda. Kita menganggap Duisburg sebagai sebuah tanda karena kita dapat membaca huruf-huruf itu, mengetahui bahwa sebagai suatu kesatuan huruf-huruf itu membentuk sebuah kata, bahwa kata itu merupakan sebuah nama yakni sebuah nama kota di Jerman. Dengan perkataan lain, tanda Duisburg merupakan bagian dari suatu keseluruhan peraturan, perjanjian dan kebiasaan yang dilembagakan yang disebut kode. Kode yang dimaksud dalam hal ini adalah kode bahasa. Walaupun demikian ada juga tanda yang bukan hanya atas dasar kode. Ada tanda jenis lain yang berdasarkan interpretasi individual dan insidental atau berdasarkan pengalaman pribadi. 

 

Sumber : https://bahan-ajar.esaunggul.ac.id/mcj401/wp-content/uploads/sites/1457/2019/12/



13. Mongin Ferdinand de Saussure (Buku)

 

Mongin-Ferdinand de Saussure (1857-1913) — Peletak Dasar Strukturalisme dan Linguistik Modern/Harimurti;ed1 — Jakarta, Yayasan Obor Indonesia. 

Judul : Mongin-Ferdinand de Saussure (1857-1913) Peletak Dasar Strukturalisme dan Linguistik Modern copyright @ 2005 pada Harimurti Kridalaksana


 

Mongin-Ferdinand de Saussure lahir di Jenewa pada 26 November 1857 dari keluarga rotestan Prancis (Huguenot) yang berimigrasi dari daerah Lorraine ketika perang agama pada akhir abad ke-16. Bakatnya dalam bidang bahasa sudah nampak sejak kecil. Pada umur 15 tahun ia menulis karangan "Essai sur les langues" dan pada tahun 1874 mulai belajar Bahasa Sanskerta. Mula- mula ia — sesuai dengan tradisi keluarganya — belajar ilmu kimia dan fisika di Universitas Jenewa, kemudian belajar ilmu bahasa di Leipzig pada tahun 1876 sampai 1878 dan di Berlin pada tahun 1878 sampai 1879. Di perguruan tinggi itu ia belajar dari tokoh besar linguistik ketika itu, yakni Brugmann dan Hübschmann. Ketika masih mahasiswa, ia sudah membaca karya ahli linguistik Amerika, William Dwight Whitney, The Life and Growth of Language: an Outline of Linguistik Science (1875), yang sangat mempengaruhi teorinya pada hari kemudian. Saussure mengatakan mengenai Whitney,"

 

bahasa dan aspek-aspek asasi lainnya. Dalam kuliah- kuliahnya itu pada dasarnya Saussure mengemukakan masalah-masalah berikut:

I. perbedaan di antara langue, parole, dan langage;

2. perbedaan di antara penyelidikan diakronis dan

sinkronis;

3. hakekat apa yang disebut tanda bahasa;

4. perbedaan di antara hubungan asosiatif dan

sintagmatis dalam bahasa;

5. perbedaan di antara valensi, isi, dan pengertian. 






14. Sitompul, A. L., Patriansyah, M., & Pangestu, R. (2021). Analisis Poster Video Klip Lathi: Kajian Semiotika Ferdinand De Saussure. Besaung: Jurnal Seni Desain dan Budaya, 6(1).


Komunikasi menjadi hal yang sangat vital dalam setiap sendi kehidupan, bahkan komunikasi menjadi salah satu hal terpenting dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial, ketika manusia menyampaikan maksud dan tujuannya kepada orang lain, bahkan kepada orang banyak disitulah peranan komunikasi penting sekali untuk menyampaikan maksudnya. Perkembangan peradaban manusia darizaman pra-sejarah hingga zaman modern tidak terlepas dari bidang komunikasi dan informasi. Kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi yang kita nikmati saat ini adalah hasil dari evolusi yang akan tetap terus berlanjut hingga masa mendatang.

Pada masa-masa awal sejarah perkembangan komunikasi, manusia menggunakan sinyal asap, drum, penemuan kertas, telegraf, telepon, komputer, email, menuju perkembangan menuju ke internet hingga perkembangan komunikasi melalui media sosial.Komunikasi, secarah harfiah komunikasi adalah proses yang mana dilakukan seseorang atau beberapa orang yang terbentuk dalam kelompok, organisasi, dan masyarakat guna menciptakan dan mengolah informasi dengan tujuan dapat terhubung dengan lingkungan sekitar dan orang lain. Komunikasi modern di Indonesia sudah berkembang sejak zaman Belanda. Sebut saja media cetak hingga komunikasi genggam yang mudah didapatkan saat ini. Saat ini ada begitu banyak mediakomunikasi yang berkembang dalam masyarakat, contoh komunikasi media cetak yang berkembang yaitu poster. Poster digunakan untuk mempromosikan berbagai partai politik, rekrutmen, mengiklankan produk, dan menyebarkan ide kepada masyarakat umum. Banyak orang percaya bahwa poster adalah alat paling efektif untuk komunikasi dan kontribusi mereka pada bidang desain muncul dari upaya menyempurnakan poster.

Poster merupakan salah satu media komunikasi visual yang sering dipakai untuk mempublikasikan suatu informasi atau dikomunikasikan kepada masyarakat. Poster adalah selembar kertas monokrom atau beraneka warna, biasanya di desain dengan komposisi teks dan gambar. Poster juga bisa di artikan sebagai seni menyampaikan pesan dengan mengkombinasikan layout dan desain untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat luas. Poster pada umumnya ditempatkan di area yang sesuai di ruang publik yang berfungsi untuk menyampaikan pesan kepada khalayak ramai. Pada desainnya kalian bisa memasukan gambar baik yang besar maupun kecil sambil megkombinasikan warna dan layout yang bagus. Karena zaman yang sudah semakin maju poster kini tidak hanya di buat di media cetak saja, namun banyak juga yang tidak di cetak, seperti poster di dunia maya atau intrnet yang tentu saja dibuat dengan berbagai macam tujuan. Seperti pendapat Kurniasih menjelaskan bahwa Media sosial mengacu pada penggunaan platform media baru yang mensyaratkan adanya komponen dan saluran komunikasi publik yang ditandai dengan adanya aktivitas online. Media sosial mencakup struktur sosial dimana di dalamnya orang- orang dapat saling berinteraksi dan berkolaborasi antara satu dengan yang lainnya (Kurniasih, 2017, p. 2).

Poster yang muncul di dunia maya atau internet dinilai begitu efektif dan efisien dalam tujuan menyampaikan informasi atau pesan tertentu kepada masyarakat luas, karena saat ini masyarakat sudah begitu familiar dengan adanya media sosial. Segala hal yang muncul dalam poster merupakan tanda komunikasi yang desainer coba sampaikan kepada masyarakat untuk dimengerti pesan dan tujuan informasinya. Tanda yang dianalisis dalam tulisan ini adalah tanda yang disajika “Lathi” karya Andy Adrians (Art Director dari Lathi). Poster ini menceritakan tentang seseorang yang terjebak dalam toxic relationship. Wanita tersebut menganggap cinta yang awalnya membahagiakan justru berubah menyakitkan. Hubungan tersebut malah memunculkan rasa sakit pada sosok wanita dan membuatnya terjebak dalam hubungan tak sehat. Berada dalam hubungan yang menyakitkan, membuat wanita tersebut menyadari jika pasangannya bukanlah orang yang layak diperjuangkan. Sang wanita mulai bangkit dan tidak ingin lagi terjebak dalam rasa sakit itu. Ia mengucapkan kalimat yang menyentuh dan bisa dijadikan pembelajaran bagi wanita- wanita di luar sana dalam menjalin suatu hubungan. 

Kalimat ini ada di lirik lagu bahasa Jawa, "Kowe ra iso mlayu saka kesalahan. Ajining diri ana ing lathi". Dalam bahasa Indonesia, lirik tersebut mempunyai arti "kamu tidak bisa lari dari kesalahan, harga diri ada pada lidah (ucapanmu), sekiranya itulah artinya. Jika diartikan secara luas, berarti seseorang yang sudah melakukan kesalahan tidak akan bisa lepas dari bayang-bayang kesalahannya. Makna ini juga diperkuat dengan video klipnya yang menceritakan hubungan beracun sepasang kekasih. Di mana awalnya mereka bahagia, lalu merasa sengsara di kemudian hari akibat

terjebak dengan pria yang salah. Perasaan ini digambarkan lewat sang wanita yang diikat rantai dan terbelenggu oleh seorang pria dalam sebuah toxic relationship. Hingga akhirnya sang wanita bisa bebas dan tak lagi terbelenggu.

Laporan analisa ini bertujuan untuk memberi suatu pemahaman kepada para akademisi desain komunikasi visual dan juga kepada masyarakat dalam

hal menganalisa sebuah karya desain yang ditunjukkan melalui karya poster Lathi ini. Selain itu juga bertujuan untuk memberikan analisa tanda dan bagaimana tanda itu bisa dihadirkan melalui konsep karya poster ini, yang didalamnya sarat dengan makna latar belakang budaya Jawa dan dihadirkan dalam konsep visual. Teori yang digunakan sebagai acuan dalam menganalisa karya poster ini dengan menggunakan teori semiotika komunkasi yang dikemukakan oleh Ferdinand de Saussere. Semiotika adalah kajian ilmu mengenai tanda yang ada dalam kehidupan manusia serta makna dibalik tanda tersebut. Studi tentang tanda dan segala yang berhubungan dengannya, cara berfungsi, hubungan dengan tanda-tanda lainnya, pengirimannya dan penerimaannya oleh mereka yang menggunakannya.


Sumber : http://ejournal.uigm.ac.id/index.php/Besaung/article/view/1830


15. ANALISIS SEMIOTIKA SAUSSURE PADA KARYA POSTER MAHARANI YANG BERJUDUL “SAVE CHILDREN” 


Kebebasan berekspresi bagi setiap individu adalah bentuk dari pelaksanaan hak asasi manusia. Kebebasan berekspresi adalah aktualisasi atas pemikiran seseorang terhadap suatu hal yang dapat direalisasikan dengan cara demonstrasi sebagai bentuk pengungkapannya dan dengan penuh tanggung jawab. Perancangan poster dalam menanggapi permasalahan dari kebebasan anak dalam berekspresi merupakan suatu cara ampuh untuk menyalurkan tanggapan serta pemikiran kita kepada masyarakat. Poster merupakan salah satu media komunikasi yang berkembang saat ini. Poster dipakai untuk menyampaikan pesan atau informasi kepada masyarakat umumnya dicetak dan ditempatkan di ruang publik atau melalui media yang sekarang familiar yaitu media sosial. Tanda visual yang digunakan designer dalam poster ditujukan kepada masyarakat supaya masyarakat dapat mengerti pesan dan tujuan informasinya. Penggunaan tanda visual dari poster yang mengangkat tema kebebasan anak-anak sangat menarik untuk ditelusuri, dibedah dan dianalisis dengan menggunakan pendekatan semiotika. Semiotika adalah kajian ilmu mengenai tanda yang ada dalam kehidupan manusia serta makna dibalik tanda tersebut. Tanda visual yang akan diangkat untuk dianalisa dalam tulisan ini adalah sistem tanda dalam bentuk poster “Save Children” karya Maharani.

Komunikasi Tanda Menurut Saussure Kehidupan manusia tidak terlepas dari aktivitas komunikasi, maka dari itu hampir seluruh aktivitas manusia membutuhkan komunikasi di dalamnya, entah itu komunikasi antar budaya, bahasa, mitos, visual dan sebagainya. Secara histori komunikasi memiliki sejarah yang kaya dan panjang, yang dapat ditelusuri kembali ke tulisan- tulisan pada bangsa babilonia dan mesir sebelum abad ke-5 SM (Nugraha, 2016, p. 293). 

Tampilan Poster Save Children Karya Maharani Gambar 1. Media Poster Judul :

 save children (Maharani, 2020) Sebelum masuk pada tahap analisis karya, terlebih dahulu dilakukan proses deskripsi. Description atau deskripsi secara harafiah berarti tindakan menggambarkan suatu representasi verbal(Marianto, 2011). Proses ini dilakukan dengan cara menguraikan unsur-unsur visual baik yang verbal ataupun nonverbal yang terdapat di dalam poster tersebut elemen-elemen yang sering digunakan dalam Desain Komunikasi Visual khususnya poster antara lain adalah tipografi, simbolisme, ilustrasi dan fotografi. Elemen-elemen tersebut dapat digunakan sendiri-sendiri, bisa juga digabungkan (Anggasta & Franzia, 2016). Karya di atas merupakan karya poster yang dibuat oleh Maharani berupa poster iklan layanan masyarakat. Karya ini dibuat pada tahun 2020, tepatnya ini merupakan karya tugas mata kuliah Fotografi Periklanan. Poster ini dibuat dengan teknik digital. Desain poster ini berukuran A4 bentuk vertical, dipublikasikan di social media. Desain poster ini menggunakan bahan foto seorang anak dengan ekspresi cemberut, dengan foto tersebut maka perancang atau pengkarya ditugaskan untuk mengolah foto tersebut menjadi sebuah poster iklan layanan masyarakat. Dengan berkonsepkan kebebasan anak, maka pengkarya mengolah foto tadi dengan melebihkan sedikit background pada foto guna untuk meletakan elemen visual lainnya seperti logo dan juga typography. Dalam perancangannya pengkarya menggunakan jenis font Crosshatcher yang bermaksudkan bahwa kata “Bebas” bermakna samar atau tidak jelas, karena kebebasan anak sulit untuk diberikan oleh orang tua. Dan juga menggunakan font “Holyfat” dalam kata “Children” bertujuan menggambarkan bahwa kebebasan ini untuk anak-anak, dan font ini sangat melambangkan anak-anak. Serta digunakan logo DKV UIGM sebagai identitas dari poster tersebut. Analisis Semiotika Ferdinand De Saussure Tanda adalah segala sesuatu seperti warna, isyarat, kedipan mata, objek, rumus matematika, dan lain-lain yang mempresentasikan selain dirinya (Danesi, 2010, p. 6). Pendapat ini dapat diartikan bahwa sistem tanda tidak dapat berkerja jika tanda tersebut mewakili atau mempresentasikan dirinya sendiri. Pada umumnya penelitian yang menggunakan pendekatan semiotika tidak bersifat matematis (pasti), melainkan suatu kajian yang banyak menimbulkan ragam interpretasi. Hal ini dikarenakan tanda yang dihadirkan memiliki kapasitas dan latar belakang budaya yang beragam. Seperti yang di ungkapkan Yasraf Amir Piliang dalam Sumbo Tinarbuko bahwa : “Pengertian ilmu dalam semiotika tidak dapat disejajarkan dengan ilmu alam (natural Science), yang menuntut ukuran-ukuran matematis yang „pasti‟ untuk menghasilkan sebuah pengetahuan objektif sebagai sebuah „kebenaran tunggal‟. Semiotika bukanlah ilmu yang mempunyai sifat kepastian, ketunggalan, dan objektivitas seperti itu, melainkan dibangun oleh „pengetahuan‟ yang lebih terbuka bai aneka interpretasi (Tinarbuko, 2009, p. ix)”. Seperti yang sudah dijelaskan di atas tanda bagi Saussure terdiri dari dua komponen yakni penanda dan petanda. Penanda merupakan struktur bentuk dari sebuah tanda, seperti citra bunyi, tulisan ataupun gambar, sedangkan petanda merupakan suatu konsep makna dari struktur penanda yang mempresentasikan sebuah realitas. Untuk melihat bagaimana sistem tanda berkerja pada poster Maharani yang berjudul “Save Children‟, maka dilakukan analisis tanda verbal dan nonverbal menggunakan teori Saussure yakni penanda dan petanda.


Sumber :  http://ejournal.uigm.ac.id/index.php/Besaung/article/view/1718/1382


kelompok AA :

- 202146579018 - Zacky Hilmi Ichlasul Amal

- 202146579017 - Mohamad Rizqi komarullah

- 201846500283 - Kiki Pebrianti 



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pertemuan 4 (Analisis Objek Kajian Semiotika "Iklan Ramadan Gojek 2021 Mengandung Bawang")

Thumbnail lorong waktu si AA

Pertemuan 2 (Kajian Semiotika dalam kehidupan sehari-hari)